AHLAN WA SAHLAN di blog saya MUSLIMAH.COM
facebook

Rabu, 31 Mei 2017

Ulama Ahlussunnah Membolehkan Bom Bunuh Diri?

Sebagian orang ada yang memunculkan syubhat bahwa para ulama ahlussunnah membolehkan aksi bom bunuh diri. Berikut ini penjelasannya.


Beberapa waktu lalu dunia digoncangkan dengan peristiwa bom bunuh diri dibeberapa negara Islam dan juga negara non Muslim yang bukan sedang dalam kondisi perang. Tentu aksi terorisme semacam ini tidak diridhai oleh Islam sama sekali. Silakan baca kembali artikel “Akal dan Agama Mana yang Mengatakan Ngebom Itu Jihad?“.
Namun sebagian orang ada yang memunculkan syubhat bahwa para ulama ahlussunnah membolehkan aksi bom bunuh diri semacam ini. Diantaranya mereka menyimpulkan demikian dari fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah berikut ini:

Soal:
Banyak saudara kita di Palestina mengenakan bom di tubuh mereka lalu melemparkan diri mereka ke tengah kerumunan orang Yahudi untuk membunuh sebagian mereka. Apakah perbuatan semacam ini dibolehkan? Apakah orang yang melakukan hal tersebut termasuk syahid?
Jawab:
Telah diketahui bahwa orang-orang Yahudi adalah musuh Allah dan Rasul-Nya, serta musuh Islam dan kaum Muslimin karena mereka telah melakukan penganiyaan, pelecehan dan penghinaan terhadap kaum Muslimin. Dan gangguan mereka kepada kaum Muslimin, yang gangguan dan penghinaan mereka ini dilakukan demi kesenangan mereka dan kesenangan anak-cucu mereka. Oleh karena itu dilakukanlah aksi bom bunuh diri dengan harapan dapat meringankan sengitnya perlawanan mereka kepada kaum Muslimin.
Maka kami berpandangan bahwa aksi bom bunuh diri ini boleh dan pelakunya semoga tergolong syahid. Karena ia telah membunuh banyak orang Yahudi, merendahkan mereka dan membuat mereka takut. Maka ini masuk dalam firman Allah Ta’ala:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu” (QS. Al Anfal: 60).
Maka bentuk ancaman ketakutan kepada musuh-musuh Allah yang demikian itu termasuk dalam makna ayat yang mulia ini. Dan dahulu kaum Muslimin ketika berperang berhadapan dengan pasukan kuffar mereka masuk ke tengah barisan pasukan kuffar yang membawa pedang. Kaum Muslimin tahu bahwa pedang musuh itu bisa membunuh dirinya namun sebelum ia terbunuh ia bisa membunuh beberapa orang dan melukai sebagiannya. Demikian juga halnya orang yang menggunakan bom di tubuh kemudian masuk ke barisan musuh sehingga pemakai bom ini terbunuh dan musuh juga terbunuh. Dan semoga ia termasuk dalam golongan syuhada yang Allah firmankan tentang mereka:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka” (QS. At Taubah: 111).
Maka beralasan dengan fatwa seperti ini untuk melakukan aksi terorisme adalah bentuk kegagalan pemahaman. Karena dua hal berikut:
  1. Fatwa beliau ini terkait kondisi perang, bukan dalam kondisi aman. Maka menerapkan fatwa ini untuk melakukan bom bunuh diri di negeri-negeri Islam yang tidak sedang terjadi peperangan melawan kuffar, atau untuk membunuh orang kafir yang tidak sedang berperang dengan kaum Muslimin, adalah kegagalan pemahaman. Fatwa ini juga bukan ditujukan kepada kafir dzimmi atau kafir musta’man dan mu’ahhad.
  2. Mengenai aksi bom bunuh diri di medan perang ini terdapat khilaf di antara para ulama. Mayoritas ulama kibar ahlussunnah seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Shalih Alu Syaikh dan selain mereka -semoga Allah merahmati mereka- tidak memperbolehkan perbuatan demikian walaupun di medan perang. Dan ini yang kami nilai lebih rajihWallahu a’lam.
Diantara buktinya, Syaikh Abdullah bin Jibrin sendiri mengharamkan aksi terorisme dan pengeboman yang dilakukan di sebagian negeri yang sedang tidak terjadi perang. Berikut ini fatwa beliau terhadap aksi pengeboman yang dilakukan di Riyadh, Saudi Arabia, pada tanggal 12/3/1424H.
Soal:
Fadhilatus Syaikh, apa pandangan anda mengenai peristiwa pengeboman yang terjadi di kota Riyadh malam Selasa kemarin tanggal 3/12/1424H yang menyebabkan korban jiwa dan korban luka-luka yang tidak bersalah? Dan bagaimana juga mengenai pengeboman gedung-gedung yang ditempati oleh orang-orang yang tidak bersalah dan dijamin keamanannya dengan alasan di sana ada orang-orang asing, apakah dalam agama kita diajarkan perkara demikian? Dan bagaimana bimbingan anda terhadap orang-orang yang berkeyakinan bahwa melakukan hal tersebut adalah jihad? Dan apa dosa dan dan hukuman bagi orang-orang yang telah membunuh orang yang tidak bersalah?
Dan apakah sama juga dosanya orang-orang yang menyediakan bahan peledak, yang membantu mengantarkannya, atau berkomplot membantu pengeboman tersebut? Dan kami memohon penjelasan dari anda untuk para pemuda yang tertipu dan terpedaya oleh mereka. Yaitu mereka meyakini bahwa melawan orang asing adalah jihad. Dan kami juga meminta penjelasan dari anda mengenai hadits: “barangsiapa yang mengganggu musta’man ia tidak akan mencium bau surga“. Dan kami mengharapkan anda menjelaskan kepada mereka serta menasehati mereka para pemuda Islam bahwa dakwah kepada non Muslim itu dengan lemah lembut dan kalimat yang baik. Dan itu semua agar menjadikan mereka mencintai agama ini dan menerima Islam sebagai buah dari akhlak dan muamalah kaum Muslimin yang baik. Dan apa yang bisa anda nasehatkan kepada para pemuda Islam agar mereka bisa memanfaatkan waktu luang mereka sehingga mereka bisa mendapatkan manfaat bagi diri mereka dan bagi umat. Dan agar mereka bisa jauh dari gembong-gembong pemikiran sesat dan pembawa kerusakan.
Syaikh menjawab:
Allah ta’ala menekankan hambanya untuk menepati perjanjian, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra: 34).
Dan juga firman-Nya:
وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا
dan hendaknya penuhilah janji (kalian) kepada Allah” (QS. Al An’am: 152).
dan juga firman-Nya:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji” (QS. An Nahl: 91).
Dan al ‘ahdu (perjanjian) di sini adalah seorang Muslim atau kaum Muslimin membuat perjanjian dengan Muslim yang lain atau pun orang kafir untuk tidak saling memerangi dan tidak saling melukai. Dan para ulama menyebutkan bahwa orang kafir itu ada 4 keadaan:
  1. Ahludz dzimmah (kafir dzimmi), yaitu jika mereka membayar jizyah.
  2. Orang kafir yang memiliki perjanjian damai (kafir mu’ahad), sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membuat perjanjian damai dengan kaum kafir Quraisy
  3. Orang kafir yang masuk ke negeri muslim dengan jaminan keamanan (kafir musta’man). Berdasarkan firman Allah ta’ala:
    وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ
    Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya” (QS. At Taubah: 6).
  4. Orang kafir yang berperang melawan kaum Muslimin (kafir harbi).
Maka dibenarkan untuk memberikan jaminan keamanan bagi orang kafir dan yang memberikan jaminan keamanan tersebut adalah dari kaum Muslimin. Walaupun yang memberikan jaminan keamanan tersebut hanya seorang wanita. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
قد أَجَرْنَا مَنْ أجرتِ يا أم هانئ
sungguh telah kami lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani” (HR. Bukhari – Muslim).
Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
المسلمون تتكافأ دماؤهم، ويسعى بذمتهم أدناهم
Darah kaum muslimin itu sederajat, dan yang lemah di antara mereka mereka berusaha menjaga dzimmah (perjanjian)
Dzimmah di sini maksudnya: perjanjian.
Maka jika kaum Musyrikin masuk ke negeri muslim dengan jaminan keamanan dari pemerintahnya atau jaminan keamanan dari salah satu warganya, baik ia masuk dalam rangka maslahat kaum Muslimin atau untuk maslahat dirinya sendiri, maka wajib bagi seluruh Muslimin di negeri itu untuk tidak mengkhianati perjanjian tersebut. Karena pengkhianatan adalah sifat kaum munafik. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
وإذا عاهد غدر
jika orang munafik membuat perjanjian mereka mengkhianatinya…” (HR. Abu Daud 2751, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Dan orang kafir terdahulu telah mempersaksikan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mengkhianati perjanjian. Dan Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk menepati perjanjian. Sebagaimana dalam firmannya:
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ
kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya” (QS. At Taubah: 4).
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menegaskan kepada kaum Muslimin untuk menjaga kehormatan ahlul ‘ahdi (kafir muahad). Beliau bersabda:
من قتل مُعَاهَدًا لم يَرَحْ رائحة الجنة
barangsiapa yang membunuh mu’ahhad, ia tidak mencium bau surga” (HR. Bukhari 3166).
Baik ia adalah mu’ahhad dari kalangan Yahudi, Nasrani atau golongan orang kafir selain mereka. Perjanjian dengan mereka semua wajib ditepati dan tidak boleh memberikan gangguan kepada mereka hingga mereka kembali ke negeri mereka.
Dan apa terjadi beberapa waktu lalu, berupa aksi pengeboman yang menyebabkan banyak korban jiwa serta korban luka-luka, tidak ragu lagi ini merupakan kejahatan yang mengerikan. Dan pengeboman ini menyebabkan korban jiwa dan korban luka dari orang-orang yang dijamin keamanannya serta juga kaum Muslimin yang ada di tempat-tempat tersebut. Dan ini tidak ragu lagi merupakan pengkhianatan, dan merupakan gangguan terhadap orang-orang yang dijamin keamanannya serta membahayakan mereka. Orang-orang yang melakukan perbuatan ini adalah merupakan orang-orang mujrim (jahat). Keyakinan mereka bahwasanya perbuatan ini adalah jihad dengan alasan bahwa orang-orang yang ada di tempat tersebut adalah orang kafir dan halal darahnya, kami katakan: ini adalah sebuah kesalahan. Tidak diperbolehkan memerangi mereka, dan tidak perang tidak terjadi kecuali setelah memberikan pemberitahuan perang kepada pihak kuffar dan setelah sepakat untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (QS. Al Anfal: 58).
Maka tidak boleh memerangi mereka yang dijamin keamanannya, demi kemaslahatan. Bahkan dengan memerangi mereka akan timbul mafsadah syar’iyyah, yaitu kaum Muslimin dituduh sembarangan sebagai kaum pengkhianat atau dituduh sebagai kaum teroris.
Maka kepada orang yang berkeyakinan bahwa orang yang diberi jaminan keamanan tersebut halal darahnya dengan alasan bahwa kaum mereka memerangi sebagian negeri Muslimin, kami katakan bahwa ini adalah keyakinan yang keliru. Dan yang memerangi kaum Muslimin berbeda orangnya dengan orang yang diberi keamanan ini. Maka tidak boleh mengkhianati perjanjian dengan mereka yang tidak memerangi, dan tidak boleh memeranginya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
dan seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain” (QS. Al An’am: 164).
Maka tidak ragu lagi bahwa orang yang terlibat dalam aksi pengeboman ini berdosa dan berhak untuk dihukum ta’zir. Baik orang yang secara langsung melakukan pengeboman maupun orang yang memfasilitasi dan membantu mengantarkannya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).
Dan Allah Ta’ala telah melarang melakukan perbuatan zalim kepada orang kafir jika mereka dari golongan diberi jaminan keamanan. Allah Ta’alaberfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Dan janganlah sekali-kali syana’an (kebencianmu) terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al Maidah: 8).
Allah juga berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka)” (QS. Al Maidah: 2).
Syana’an artinya kemarahan dan kebencian.
Dan nasehat saya bagi para pemuda Islam, hendaknya jangan membuka pintu fitnah bagi negeri kita. Dan hendaknya mereka berlemah lembut terhadap sesama Muslim, dan hendaknya mereka menegakkan dakwah ilallah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).
Karena orang-orang kafir itu terkadang Allah berikan hidayah kepada Islam jika mereka melihat muamalah yang baik, lembut dan penuh hormat dari kaum Muslimin kepada mereka. Sehingga akhirnya itu membuat mereka masuk Islam.
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما كان الرفق في شيء إلا زانه، ولا نُزِعَ من شيء إلا شانه
tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya” (HR. Ibnu Hibban 551, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 5654).
Dan ketika sebagian orang Yahudi bertemu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallammereka mengatakan: “assaamu’alaikum (semoga kematian atas engkau)”. Nabi hanya membalas: “wa’alaikum (dan juga kepada kalian)”. Namun ‘Aisyah membalas perkataan orang Yahudi itu dengan: “assaamu ‘alaikum wal la’anakumullah wa ghadhiba ‘alaikum (semoga kematian atas engkau juga laknat dan murka dari Allah)”. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengingkari ‘Aisyah dengan sabdanya:
مهلًا يا عائشة عليك بالرفق، وإياك والعنف والفحش
pelan-pelan wahai Aisyah.. hendaknya engkau bersikap lembut. Dan jauhilah sikap keras dan kekejian” (HR. Bukhari 6024).
Kemudian nasehatku juga kepada para pemuda Islam yang memiliki semangat dan ghirah: berlemah lembutlah, dan jangan tergesa-gesa, serta janganlah perbuatan orang kafir yang engkau lihat atau engkau dengar membuat kalian berbuat melebihi batas dan berbuat zalim. Serta jangan membuat saudara kalian terjerumus dalam tuduhan dan bahaya atau hukuman yang berat. Yang demikian sama saja membuka pintu tuduhan bagi semua hamba Allah yang shalih dan semua orang yang berpegang teguh kepada agama sebagai orang yang serampangan, dan sebagai orang yang radikal dan tergesa-gesa dalam menghukumi. Dengan demikian orang-orang shalih pun menjadi orang yang dicurigai dan ini bukanlah maslahah bagi kaum Muslimin.
Dan kami anjurkan kepada para pemuda Islam untuk mengumumkan bahwa mereka berlepas diri dari amalan-amalan yang buruk ini dengan tetap menunjukkan kewibawaan di hadapan orang kafir dan juga menunjukkan jeleknya perbuatan-perbuatan orang kafir kepada kaum Muslimin. Serta juga tetap menunjukkan sikap berlepas diri dari loyalitas kepada orang kafir dan dari kecintaan kepada mereka. Sebagaimana hal tersebut telah dilarang oleh Allah Ta’ala yaitu dalam hal berloyalitas yang menimbulkan konsekuensi kecintaan dan berkonsekuensi meninggikan kedudukan mereka. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (QS. Al Maidah: 51).
Namun tidak termasuk dalam sikap loyal kepada mereka: memberi bantuan kepada mereka atau membuat perjanjian dengan mereka dalam rangka mencegah keburukan mereka. Karena hal ini tidak menimbulkan konsekuensi kecintaan dan sayang kepada mereka. Karena Allah Ta’ala telah memutus tali loyalitas antara kaum Mukminin dan kaum kuffar (walaupun dari kalangan kerabat).
Dan tidak diharamkan mendekati orang kafir untuk menunjukkan keindahan Islam. Terdapat dalam riwayat shahih, bahwa sebagian sahabat Nabi senantiasa menyambung silaturahim kepada kerabat mereka yang kafir. Umar bin Khathab pernah menghadiahkan kain bahan pakaian untuk saudaranya yang kafir. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakar untuk tetap menyambung silaturahim dengan ibunya yang kafir, untuk berkasih sayang kepadanya. Sehingga dengan demikian akan tergambar di benak orang-orang kafir bahwa Islam itu adalah agama yang adil dan toleran. Dan bahwasanya Islam itu jauh dari kezaliman, kejahatan dan permusuhan. Wallahul musta’an.
Dengan demikian jelaslah bahwa Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah tidak merestui aksi terorisme dalam bentuk apapun, dan tidak ada satu pun ulama ahlussunnah yang merestui perbuatan demikian. Dan walhamdulillah uraian Syaikh di atas sekaligus telah menjelaskan bagaimana sikap yang benar terhadap orang kafir, tanpa taqshir (kurang benar) ataupun ghuluw (berlebih-lebihan).
Adapun yang difatwakan sebagian ulama mengenai bolehnya melakukan aksi bom bunuh diri itu dalam kondisi peperangan atau di medan perang melawan kuffar. Bukan dalam kondisi aman atau di negeri-negeri yang tidak sedang terjadi peperangan atau yang orang-orang kafir dijamin keamanannya di sana. Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar